Senin, 31 Agustus 2015

MMA (Mastitis Metritis Agalactia)

oke..sekarang aku sudah jadi mahasiswi kedokteran hewan nih...sekarang blogku ku ubah agak science dikit ya..haha
sekarang aku mau ulas tentang MMA, kenapa?

penyakit ini sangat penting diketahui, terutama untuk peternak babi karena ini penyakit yang sering banget muncul pada babi, oke cekidot !!!
ini aku dapat dari beberapa referensi dan penjelasan dosen di fakultasku (FKH UGM)

Mastitis merupakan keradangan yang terjadi pada ambing, metritis adalah radang pada myometrium sedangkan agalactia adalah tidak keluarnya air susu dari ambing atau kelenjar mamae.
MMA merupakan sindrom penyakit yang menghasilkan kematian anak babi akibat kelaparan dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit saat lahir.
Mastritis, metritis dan agalactia (MAA) adalah sindrom yang kompleks dari etiologi yang terjadi pada 1-3 hari setelah Induk babi melahirkan.  Induk babi dipengaruhi oleh faktor predisposisi, yaitu kebersihan yang buruk saat melahirkan, kelebihan berat badan dan pemberian pakan sesaat sebelum melahirkan (Wiliamson,1993).
E. coli dan Klebsiella pneumoniae adalah patogen utama yang menyebabkan mastitis infeksius. Streptococcus spp. dan Staphylococcus spp. juga telah diisolasi, tetapi seringkali juga dapat diisolasi dari kelenjar yang sehat tanpa perubahan patologis. Pelepasan prolaktin dan oksitosin dapat dihentikan oleh stressor dan toksin bakteri seperti E. coli (Radostits, et al., 2006).
Faktor stress yang berupa puasa sebelum melahirkan, hingga terjadi penurunan kadar glukosa darah secara signifkan juga mendorong terjadinya agalaktia. Stress yang berupa pemberian pakan berlebihan, hingga kekenyangan, dan bentuk pakan yang terlalu halus juga merupakan faktor predisposisi agalaktia (Subronto, 2004).
Faktor keturunan juga berperan dalam kejadian agalaktia. Ada hubungan dengan sifat individual babi yang rentan stress (stress-susceptible) dan tahan stress (stress-resistant) (Subronto, 2004).

terus gimana ya kok penyakit ini bisa terjadi ?

Ada banyak penyebab dari MMA, yang menyulitkan diagnosis dan evaluasi klinis. Bentuk klasik dianggap sebagai bagian dari kompleks MMA, PPDS  bukan sebagai patologi yang lebih luas. Dengan demikian, MMA pada dasarnya adalah sebuah subtipe dari PPDS, mungkin yang paling parah gejala klinisnya tetapi juga yang paling umum terjadi. Infeksi pada kelenjar susu yang lebih sering sekunder, dan banyak mikroorganisme telah diidentifikasi, termasuk Escherichia coli, Klebsiella spp, spp Enterobacter, Citrobacter spp, Staphylococcus spp (misalnya, S epidermidis), dan Pseudomonas aeruginosa. Semua mikroorganisme tersebut umum ada tersebar di lingkungan (Aiello, 1998).

Bukti menunjukkan bahwa lipopolisakarida (LPS) endotoksin, bagian dari dinding sel bakteri semua negatif-gram, berperan dalam timbulnya kasus. Endotoksin bakteri dapat diserap oleh rahim (misalnya, endometritis atau metritis), kelenjar susu (misalnya, mastitis multiglandular akut), atau usus (misalnya, konstipasi sebagai akibat dari pakan babi yang diletakkan di tanah dapat mengakibatkan pertumbuhan berlebih bakteri dan berikutnya penyerapan endotoksin oleh usus) dan menyebabkan endotoxemia. Identifikasi sumber endotoksin bakteri sangat penting untuk menentukan pendekatan yang terbaik untuk pencegahan (Aiello, 1998).

Sekresi kolostrum ditentukan oleh keseimbangan hormon yang kompleks. Endotoksin LPS menekan pelepasan prolaktin (hormon utama yang terlibat dalam inisiasi laktasi) oleh hipofisis anterior, penurunan hormon tiroid dalam darah, dan meningkatkan konsentrasi kortisol. Perubahan ini mempengaruhi produksi dan sekresi kolostrum dan susu. Padahal, kolostrum adalah sama pentingnya untuk konten energi dan untuk imunoglobulin. Setiap penurunan jumlah kolostrum yang dikonsumsi akan mengakibatkan konsekuensi untuk babinya seperti diare, kelaparan, dan pertumbuhan yang buruk. Penyebab lain hypogalactia umum yang harus dipertimbangkan adalah mastitis multiglandular akut, ambing dan kelainan puting, hypocalcemia (jarang pada babi), dan akut (agalactia) atau kronis (hypogalactia) ergotism (jarang dalam prakteknya). Turunan ergot menekan pelepasan prolaktin. Faktor risiko adalah babi yang stres dan dengan kondisi yang mengarah pada multiplikasi bakteri dan endotoxemia berikutnya, faktor tersebut banyak dan dihubungkan dengan entitas yang berbeda (misalnya, cystitis, metritis, vaginitis, konstipasi, mastitis, dll) (Aiello, 1998).

Faktor dari stress sendiri pada induk babi yang mungkin disebabkan karena kandang babi yang memiliki suhu yang tidak sesuai dan disebabkan keadaan kandang yang tidak nyaman menyebabkan terjadinya keluarnya hormon cortisol dan epinephrin sehingga hormon tersebut akan memblokade kerja dari oxytocin. Terjadinya MMA sendiri dapat terjadi secara bersama – sama dikarenakan adanya Septicemia yang bisa dikarenakan dari mastitis atau mastitis sehingga terjadilah sindrom MMA (Cowart, 1995).
 
Sekarang ini nih yang perlu diperhatikan oleh peternak babi, yaitu gejala gimana nih ?

-     depresi, gelisah ketika sedang menyusui dan melemahnya kondisi anak babi
-     demam pada induk babi 39,5-41°C
-     agalaktia (tidak keluarnya air susu) muncul saat partus atau dalam waktu 72 jam   postpartus
-     terkadang terlihat adanya leleran purulen dari vagina
-     terjadi peradangan pada ambing, bengkak, panas dan memerah (Taylor,2004)


terus yang paling penting nih...penanganan !!!
 

Penanganan bagi induk :
1. Pemberian oxytocin 30-50 IU secara intra muscular atau subcutan. Pemberian oxytocin ini bertujuan untuk menginisiasi milk let down.
2. Pemberian estrogen (misalnya estradiol benzoate), bertujuan untuk menaikkan prolaktin dari pituitary sehingga meningkatkan produksi susu.
emberian oxytocin dan estrogen secara bersamaan:
Oksitosin merangsang otot polos uterus dan kelenjar mamae. Membran sel otot polos terpolarisasi. Penurunan potencial membran selalu menyertai kontraksi uterus. Hubungan dengan pemberian estrogen yaitu estrogen dalam tubuh cukup maka oksitosin dapat bekerja dengan optimal untuk kontraksi uterus untuk mengeluarkan cairan pululen dalam uterus akibat metritis. Begitu juga pada kelenjar mamae. (Syarif, 1980)
3. Pemberian corticosteroid dengan interval 12-24 jam, tujuan dari pemberian ini adalah untuk mengurangi keradangan.


4. Pemberian antibiotik, sebaiknya dilakukan uji sensitivitas untuk menentukan jenis antibiotik yang tepat sesuai dengan agen penyebabnya.

sudah sampai sini saja teman...yang aku tahu sampai segini jika ada yang lebih cool bisa share juga bro hahaha...bye-bye



 

MERPATI PAGI Copyright © 2009 Cookiez is Designed by Ipietoon | Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template